Henky Eko Sriyantono - Pemilik Bakso Cak Eko, Sukses Setelah 10 Kali Bangkrut

Henky Eko Sriyantono - Pemilik Bakso Cak Eko, Sukses Setelah 10 Kali Bangkrut

Oleh : Bibit Sudarsono, 13 November 2015 - 15:06 WIB

Sepuluh kali gagal bisnis, itulah yang dialami pria yang akrab disapa Cak Eko, pemilik merk Bakso Malang Kota Cak Eko. Hampir sepuluh tahun ia ‘terlunta-lunta’ dengan 10 kali kegagalan bisnisnya. Beruntung, ia sosok yang kuat dalam melakoni drama kehidupan. Di tahun ke 11, ujian pun berlalu, setelah melakoni bisnis bakso. Kini ia telah memiliki 135 cabang dengan omset ratusan juta per hari.

Kuat dan tegar. Ya, kata itu pantas disandang oleh pria bernama lengkap Henky Eko Sriyantono. Betapa tidak, ia harus melakoni jatuh bangun berbisnis hingga 10 kali bangkrut dalam waktu 10 tahun. Namun lelaki kelahiran Surabaya 38 tahun silam ini pantang menyerah. Tekadnya kuat menaklukkan kegagalan. “Tahun 1997 saya hijrah ke Jakarta. Dengan modal 800 ribu rupiah, saya mulai menjalankan bisnis HP second. Di bulan-bulan pertama, untungnya lumayan. Tapi kemudian omsetnya makin merosot, hanya bertahan satu tahun lalu bangkrut,” ujar Cak Eko.

Gagal di HP, iapun langsung lari di bisnis lain. Tahun 1998, bisnis MLM tengah gencar. Ia pun terpikat dan memasukinya, namun ia hanya kuat 6 bulan melakoninya. Setelah itu, Cak Eko pun mulai merintis bisnis lainnya. “Saya diajak kerja sama sama teman di sektor agrobisnis. Modalnya cukup besar yaitu sekitar 40 juta rupiah, modal tersebut saya dapatkan dari patungan teman-teman. Naas, setelah empat bulan berlalu, saya mengalami gagal panen. Uang tersebut amblas tak sempat terselamatkan. Bagi saya, itu kegagalan terbesar dalam hidup karena pakai uang orang lain. Kalau pake uang sendiri mungkin tidak terlalu bermasalah,” kenangnya penuh sesal.

Hampir saja Cak Eko mau menyerah, kegagalannya itu memporak-porandakan mimpinya untuk meraih sukses. Ia pun pulang kampung kembali ke Surabaya.

Kembali Untuk Menang

Pulang kampung bukan berarti kalah, tapi kembali untuk menang. Dan itu dilakukan dengan piawai oleh Cak Eko. “Saya belum kalah, tahun 2000 saya menikah dan kembali ke Jakarta dengan menggondol sejuta harapan baru. Saya mulai lagi berbisnis, kali ini jualan jahe. Ternyata, gagal lagi. Tak cukup di situ, saya pun memulainya lagi dengan berbisnis tas bersama istri. Saya titipkan tas-tas tersebut ke butik-butik di seluruh Jakarta. Empat bulan berjalan normal, omsetnyapun selalu naik. Namun di bulan ke enam bencana kembali melanda, bayaran macet dan bisnis tas juga bangkrut,” bebernya.

Ketangguhan Cak Eko patut diacungi dua jempol. Gagal di tas, ia kembali bangkit merambah bisnis busana muslim. “Di bisnis ini saya bisa bertahan 8 bulann karena kemudian penjual busana muslim pun makin menjamur di berbagai kota. Imbasnya, penjualan busana muslim yang saya ambil dari pasar  Tanah Abang pun lesu. Saya berhenti, saya capek!” Ucap sarjana teknik sipil ini.

Untuk menghilangkan stressnya, suatu ketika di tahun 2002, Cak Eko pun pergi jalan-jalan ke Yogyakarta. Meski tengah berlibur melepas lelah, kejelian untuk mencari peluang bisnis baru tetap tajam. “Di Yogya, saya melihat kerajinan miniatur sepeda. Saya tertarik dan membelinya seharga 100 ribu perak. Tapi saya lihat, pembuatannya masih kasar. Seketika terpikir untuk membuat kerajinan serupa yang lebih halus. Saya panggil tukang untuk membuat miniatur sepeda dan berhasil menyajikan yang lebih baik. Saya produksi dan ditawarkan ke hotel bintang lim adi Jakarta juga ke berbagai store untuk souvenir. Ternyata saya salah strategi, saya malah mengulangi kegagalan bisnis untuk kesekian kalinya. Usaha saya pun ambruk dan hanya bertahan satu tahun. Mesin las saya jual untuk bayar gaji karyawan,” ujarnya.

Cak Eko pun meradang atas beberapa kegagalannya. Berbagai upaya ia lakukan untuk menjalani hidup, namun seiring dengan itu hantaman kebangkrutan terus menerjangnya. “Saya banyak belajar dari kegagalan itu, saya jadi sering baca buku. Saya membaca sebuah kalimat ‘jika ingin sukses berbisnis mulailah dari hobi’ , wah saya ini hobi masak, berarti saya harus coba bisnis makanan. Dibukalah bisnis catering rantangan, kebetulan di sekitar rumah banyak pasangan muda yang bekerja dan tak sempat masak. Pilihan saya tepat, saya punya 12 langganan setiap harinya. Mimpi saya makin membesar untuk menekuni bidang ini hingga menjadi catering besar,” papar Cak Eko.

Sayang tiga bulann kemudian, pelanggannya malah menciut, hanya tersisa tiga pelanggan saja. Impiannya pun buyar berbarengan dengan ditutupnya bisnis cateringnya. “Saya ini sudah menjalankan bisnis sesuai dengan hobi tapi kok malah bangkrut juga,” ujarnya setengah frustasi.

Bisnis boleh berhenti tapi hidup harus terus dilanjutkan. Eko pun mulai memutar otak, tak lama kemudian pilihannya jatuh pada bisnis franchise. “Saya berulang kali bangkrut mungkin karena sistemnya yang salah. Franchise ini sudah tersistem dengan baik, mungkin ini jalan saya. Dan saya beli franchise makanan ringan seharga 5 juta rupiah. Saya jalankan bisnis ini, selama 3 bulan omset terus menanjak. Saya makin yakin, ini pilihan tepat. Di bulan ke-4 pelan tapi pasti, omsetnya terus merosot. Karena omsetnya terus turun, saya pindahkan tempatnya ke tempat lain. Saya pikir mungkin lokasinya kurang strategis. Tapi setelah itu dilakukan tetap saja omsetnya tak naik. Selama satu tahun, saya pindahin tempat sampai tiga kali, tapi tak ada perubahan sama sekali. Ya sudahlah saya tutup saja, saya sudah terlalu lelah,” ujar pria yang menamatkan S2 di UI ini.

Menangkal Malang Dengan Bakso Malang

Tahun 2005 secara tak sengaja, Cak Eko melihat gerai bakso di bandara. Ia berfikir, bagaimana mungkin jualan bakso bisa menyewa tempat di bandara,”Iseng-iseng saya tanya ke pengelolanya, berapa uang sewanya. Katanya 300 juta per tahun. Saya langsung terpikir, inilah bisnis saya!” katanya semangat. Dari situ, iapun mulai rajin cari-cari info seputar dunia perbaksoan. Butuh berbulan-bulan ia mempelajari seputar ‘ilmu bakso’.

Bermodalkan 2,5 juta, Cak Eko pun mantab untuk membuka bakso Malang. Ternyata, pada bisnis inilah Dewi Fortuna mulai menyapa. Di hari pertama, ia bisa memperoleh untung hingga 900 ribu rupiah. Dan perlahan, omsetnya terus meningkat hingga mampu membuka 2 cabang lainnya. Ternyata bakso Malng telah menyelamatkan kemalangannya dalam berbisnis. “Alhamdulillah, inilah jawaban dari Alloh. 3 bulan kemudian, bakso saya pun mulai dikenal banyak orang. Kini setelah 4 tahun berlalu, saya sudah bisa mengembangbiakkannya menjadi 135 cabang di seluruh Indonesia,” ucapnya bangga.

Bukan hanya itu, ditahun 2011 lalu, Cak Eko menargetkan baksonya mencapai manca negara seperti Malaysia dan Qatar. “Ya saya ingin dunia mengenal bakso,” imbuh pria yang setiap harinya menangguk untung 15 hingga 120 juta rupiah dari masing-masing cabang ini. Kini Cak Eko telah mempekerjakann hingga 500 karyawan. Bahkan ia juga mulai merambah ke bisnis lainnya seperti buah-buahan dan budidaya ikan. Cak Eko juga memfranchise kan baksonya mulai harga 60 hingga 120 juta rupiah.

“Bisnis itu tak instan, butuh proses dan perjuangan. Banyak yang gagal dalam berbisnis, karena sesaat ia mendekati kesuksesan, ia malah berhenti dan menjauh. Dalam berbisnis harus sabar dan penuh keyakinan, punya mimpi serta pandai melihat peluang. Itulah kuncinya dan itu pula yang saya jalankan.” Pungkas peraih beragam penghargaan nasional dan penyabet penghargaan kelas dunia Asia Pasific Entrepreneur Award 2009 ini.

Wow...Benar-benar perjuangan yang tak henti-henti. Salut buat Cak Eko. Tak banyak orang yang bisa se-survive beliau. 10 kali gagal dalam 10 tahun. Banyak orang yang mengubur mimpinya dalam-dalam untuk memperbaiki taraf hidupnya hanya karena 2 atau 3 kali gagal. Mungkin mereka dan kita semua bisa meneladani mental Cak Eko dalam menyikapi kegagalan.

Pada dasarnya tak ada yang namanya gagal, jika kita terus berusaha, belajar dan berdoa. Apapun itu bidangnya, entah bisnis, entah profesional, entah study. Pokoknya harus terus berusaha sampai berhasil.

Ok dech, sukses terus Cak Eko!

 

Sumber: (http://biografi-orang-sukses-dunia.blogspot.co.id/2013/11/biografi-henky-eko-sriyantono-pemilik.html)


Baca Juga :